Minggu, 28 Desember 2014

RESUME PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI



PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut  ar-rahn. Ar-rahn  adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn  dalam bahasa Arab adalah  atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”. Sedangkan menurut syafii Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Adapun landasan hukum tentang konsep gadai Syariah yaitu mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasannya sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Selain itu, dalam sebuah hadist juga dijelaskan, Dari Anas ra bahwasanya ia berkata, “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR. Bukhari).
Adapun Payung hukum gadai syariah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan, dan fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas.
Transaksi gadai menurut syariah haruslah memenuhi rukun dan syarat tertentu. Adapun Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu :
a.       Shigat (lafadz ijab dan qabul);
b.      Pihak yang berakad (rahin dan murtahin);
c.       Adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta;
d.      Adanya Utang (marhun bih).
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:
1.      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang  menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. 
2.      Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Mekanisme operasional pegadaian syariah melalui akad rahn nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.
Adapun Perbedaan antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah yaitu:
a.       Dalam hukum perdata gadai syariah dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan dalam gadai konvensional disamping berprinsip menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.
b.      Dalam gadai konvensional, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan dalam gadai syariah berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
c.       Dalam gadai syariah akad yang dilakukan dengan akad rahn dan tidak ada istilah bunga, sedangkan dalam gadai konvensional melaksanakan keuntungan dengan prinsip bunga.
d.      Jangka waktu pinjaman dalam gadai syariah selama 4 bulan, sedangkan dalam gadai konvensional jangka waktunya selama 3 bulan.
e.       Dalam gadai syariah bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil maka akan diserahkan kepada ZIS, sedangkan dalam gadai konvensional uang tersebut akan menjadi milik pegadaian.
Sumber:
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar