PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam
disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab
adalah atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”. Sedangkan
menurut syafii Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta milik nasabah
(rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman (marhun bih) yang
diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak
yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Adapun landasan hukum tentang konsep gadai
Syariah yaitu mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan
Hadist Nabi SAW. Adapun landasannya sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah
283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Selain itu, dalam sebuah hadist juga
dijelaskan, Dari Anas ra bahwasanya ia berkata, “Rasulullah menggadaikan baju
besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk
keluarga beliau.” (HR. Bukhari).
Adapun Payung hukum gadai syariah dalam hal
pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada fatwa DSN-MUI No.
25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan, dan fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas.
Transaksi gadai menurut syariah haruslah
memenuhi rukun dan syarat tertentu. Adapun Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu
ada 4 (empat), yaitu :
a.
Shigat
(lafadz ijab dan qabul);
b.
Pihak
yang berakad (rahin dan murtahin);
c.
Adanya
jaminan (marhun) berupa barang atau harta;
d.
Adanya
Utang (marhun bih).
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di
atas dua akad transaksi Syariah yaitu:
1.
Akad
Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan
atas utang nasabah.
2.
Akad
Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Mekanisme operasional
pegadaian syariah melalui akad rahn nasabah menyerahkan barang bergerak dan
kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan
pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan
dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian
mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua
belah pihak. Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa
tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman.
Adapun
Perbedaan antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah yaitu:
a. Dalam
hukum perdata gadai syariah dilakukan secara suka rela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan dalam gadai konvensional disamping
berprinsip menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa
modal.
b. Dalam
gadai konvensional, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan
dalam gadai syariah berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
c. Dalam
gadai syariah akad yang dilakukan dengan akad rahn dan tidak ada istilah bunga,
sedangkan dalam gadai konvensional melaksanakan keuntungan dengan prinsip
bunga.
d. Jangka
waktu pinjaman dalam gadai syariah selama 4 bulan, sedangkan dalam gadai
konvensional jangka waktunya selama 3 bulan.
e. Dalam
gadai syariah bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil maka akan diserahkan
kepada ZIS, sedangkan dalam gadai konvensional uang tersebut akan menjadi milik
pegadaian.
Sumber:
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan syariah,
(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar