Minggu, 28 Desember 2014

RESUME PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS WADI'AH



PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS WADI’AH
Al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain baik perorangan atau badan hokum yang dalam kesepakatannya harta/barang yang dititipkan harus dijaga serta dikembalikan kapanpun si pemilik menghendakinya.
Dalam perbankan syariah, secara umum al-wadi’ah terdapat dua jenis, yaitu:
1.      Wadiah yad al-amanah (Trustee Depository)
Konsep ini yaitu bermakna tangan amanah, dimana maksudnya bahwa pihak yang menerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga harta atau barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya dan sebagai kompensasinya, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan. Dan konsep ini dalam aplikasi perbankan yaitu untuk jasa penitipan atau safe deposit box.
2.      Wadiah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Dalam konsep ini yaitu pihak yang menerima titipan boleh memanfaatkan harta atau barang yang dititipkan kepadanya dan sebagai konsekuensinya semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank sebagai penanggung seluruh kemungkinan kerugian), sebagai imbalannya sipenyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya. Sungguhpun demikian bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga sebagai pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal/persentase, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank syariah. Dan konsep ini dalam aplikasi perbankan yaitu berupa giro dan tabungan.
Adapun landasan hukum al-wadi’ah sebagaimana dalam firman Allah QS. An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hokum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…..”
Selain itu dalam sebuah hadist juga dikatakan “ Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada yang telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam fatwa DSN MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000, disini dijelaskan tentang ketentuan umum tabungan berdasarkan wadiah yaitu sebagai berikut:
a.    Bersifat simpanan.
b.    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call)/ berdasarkan kesepakatan.
c.    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus (atthaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Selain itu, dalam fatwa DSN diatas juga prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada 2 yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah. Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan dalam kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan.
Giro wadiah adalah titipan pihak ke-3 pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan sek, bilyet giro, kartu ATM, dan sebagainya. Sedangkan tabungan wadiah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Sumber:
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.
Fatwa DSN MUI tentang wadi’ah

RESUME PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI



PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut  ar-rahn. Ar-rahn  adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn  dalam bahasa Arab adalah  atstsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”. Sedangkan menurut syafii Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Adapun landasan hukum tentang konsep gadai Syariah yaitu mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasannya sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Selain itu, dalam sebuah hadist juga dijelaskan, Dari Anas ra bahwasanya ia berkata, “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR. Bukhari).
Adapun Payung hukum gadai syariah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan, dan fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas.
Transaksi gadai menurut syariah haruslah memenuhi rukun dan syarat tertentu. Adapun Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu :
a.       Shigat (lafadz ijab dan qabul);
b.      Pihak yang berakad (rahin dan murtahin);
c.       Adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta;
d.      Adanya Utang (marhun bih).
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:
1.      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang  menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. 
2.      Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Mekanisme operasional pegadaian syariah melalui akad rahn nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.
Adapun Perbedaan antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah yaitu:
a.       Dalam hukum perdata gadai syariah dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan dalam gadai konvensional disamping berprinsip menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.
b.      Dalam gadai konvensional, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan dalam gadai syariah berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
c.       Dalam gadai syariah akad yang dilakukan dengan akad rahn dan tidak ada istilah bunga, sedangkan dalam gadai konvensional melaksanakan keuntungan dengan prinsip bunga.
d.      Jangka waktu pinjaman dalam gadai syariah selama 4 bulan, sedangkan dalam gadai konvensional jangka waktunya selama 3 bulan.
e.       Dalam gadai syariah bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil maka akan diserahkan kepada ZIS, sedangkan dalam gadai konvensional uang tersebut akan menjadi milik pegadaian.
Sumber:
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.

Sabtu, 27 Desember 2014

RESUME PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS QARDH


PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS QARDH
Menurut Fatwa  Dewan Syari'ah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, bahwa Al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan/membutuhkan dana atau uang. Oleh karena itu, nasabah  al-qardh berkewajiban mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Adapun Biaya administrasi yang dibutuhkan akan dibebankan kepada nasabah.
Menurut ahli fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada tambahan. Al-Qardh (pinjam meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini.
Secara teknis, qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.
Menurut  Musthafa Dib Al-Bugha, Hukum Al-Qardh adalah sunah bagi yang meminjamkan dan mubah bagi orang yang meminjam. Namun ada situasi-situasi yang menyebabkan berubahnya hukum Al Qardh, bergantung pada sebab seorang meminjam. Berikut beberapa perubahan hukum Al Qardh:
a.       Pertama, haram apabila seseorang memberikan pinjaman, padahal dia mengetahui bahwa pinjaman itu akan digunakan untuk perbuatan haram seperti untuk membeli minuman khamar, berjudi.
b.      Kedua, makruh apabila yang memberi pinjaman mengetahui bahwa peminjam akan menggunakan hartanya bukan untuk kemaslahatan, tetapi untuk berfoya-foya dan menghambur-hamburkannya. Begitu juga peminjam mengetahui bahwa dirinya tidak akan sanggup mengembalikan pinjaman itu.  
c.       Ketiga, wajib apabila ia mengetahui bahwa peminjam membutuhkan harta untuk menafkahi diri, keluarga, dan kerabatnya sesuai dengan ukuran yang disyariatkan, sedangkan peminjam itu tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan nafkah itu selain dengan meminjam.
Landasan hukum qardh sesuai dengan Firman Allah SWT QS. Al Baqarah: 245 yang Artinya: “Barang siapa meminjami di jalan Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya kamu dikembalikan.”(QS. Al Baqarah ayat: 245)
Dalam salah satu hadist juga dikatakan, Rasulullah saw bersabda: “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Adapun rukun dari akad qardh yaitu:
a.       Peminjam (muqtaridh)
b.      Pemberi pinjaman (muqridh)
c.       Jumlah dana (qardh)
d.      Ijab qabul (sighat)
Fasilitas Qardh ditujukan kepada mereka yang memerlukan pinjaman konsumtif dan produktif jangka pendek untuk tujuan-tujuan yang mendesak. Dalam praktek perbankan modern, diberikan kepada pengusaha kecil yang kekurangan dana, tetapi memiliki prospek bisnis yang baik. Sumber pendanaan Pembiayaan qardh dapat berasal dari beberapa kategori tergantung untuk apa dan siapa yang akan menerimanya. Jika qardh diperuntukkan bagi anggota atau nasabah secara cepat dan berjangka pendek, dana tersebut dapat diambilkan dari dana modal LKS. Tetapi, jika skema qardh yang diberikan untuk membantu usaha produktif yang dimiliki faqir miskin, atau usaha mikro maka sumber dana dapat diambilkan dari zakat, infaq dan wakaf.
Adapun menurut  ketentuan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001, bahwa Dana al-Qardh dapat bersumber dari :
a.       Bagian modal LKS;
b.      Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
c.       Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Adapun manfaat al-qardh adalah:
a.       Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan talangan jangka pendek.
b.      Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, di samping juga ada misi komersial,
c.       Adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
Sumber:
dsn2001-19.pdf
PROSEDUR%20PEMBIAYAAN%20GADAI%20EMAS%20SYARIAH%20-%20STAIN%20SALATIGA.Pdf

Senin, 01 Desember 2014

RESUME PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS IJARAH



PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS IJARAH
Kata ijarah berasal dari kata ajr yang berarti imbalan. Adapun menurut bahasa, ijarah juga berarti upah atau imbalan. Sedangkan Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan  Ijarah  (sewa),  ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Transaksi  ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi prinsip  ijarah (sewa) sama dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa
Al ijarah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan dalil yang terdapat dalam QS. Al Baqarah ayat 233 yang artinya:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut, dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan (leasing).
Dalam sebuah hadits juga dikatakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
Adapun mengenai rukun ijarah menurut Jumhur ulama bahwa  rukun ijarah (sewa) ada empat yaitu:
a.       Orang yang berakad (Mu’ajir  dan  musta’jir). Mu’ajir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, sedangkan  musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu.
b.      Sighat (ijab dan qabul)
c.       Ujrah (biaya sewa/imbalan)
d.      Manfaat
Selain itu syarat  ijarah (sewa) terdapat di dalam Fatwa DSN MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan  ijarah  (sewa). Rukun dan syarat  ijarah (sewa) antara lain  sighat  ijarah  (perjanjian sewa), pihak yang berakad dan objek akad  ijarah (manfaat barang dan sewa serta manfaat jasa dan upah).
Pada dasarnya dilihat dari segi objeknya, akad ijarah (sewa) menurut para ulama fiqh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu  ijarah (sewa) yang bersifat manfaat dan ijarah (sewa) yang bersifat pekerjan. Sedangkan di dalam hukum Islam ada dua jenis ijarah (sewa), yaitu :
a.       Ijarah  (sewa)  yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut  musta’jir,  pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.      Ijarah  (sewa) yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau  properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah  (sewa)  ini mirip dengan  leasing  (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut musta’jir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut muajir  dan biaya sewa disebut ujrah.
Sumber:
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press.
http://eprints.walisongo.ac.id/1448/3/082311065_Bab2.pdf