Selasa, 07 Januari 2014


            PERBANDINGAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Lembaga keuangan menurut SK Menkeu RI No. 792 Tahun 1990 merupakan suatu perusahaan atau badan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan bidang keuangan yang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat guna membiayai investasi perusahaan. Adapun pengertian bank menurut undang-undang perbankan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pada dasarnya bank terdiri dari bank konvensional dan bank syariah.
1.      Bank Konvensional
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Martono (2002) menjelaskan prinsip konvensional yang digunakan bank konvensional menggunakan dua metode, yaitu :
  • Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu.
  • Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau menerapakan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
2.      Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu sistem perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sistem imbalan atas dana yang digunakan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam
Secara garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga yaitu Produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk jasa yang diberikan bank kepada nasabahnya. Dalam penyaluran dana terdiri dari jual beli (ba’i), sewa (ijarah), dan bagi hasil (mudharabah&musyarakah), Dalam penghimpunan dana dapat diwujudkan baik dalam bentuk simpanan maupun investasi, Penghimpunan dana dalam bentuk simpanan wujudnya berupa Giro, Tabungan, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah Sedangkan penghimpunan dana dalam bentuk investasi wujudnya berupa deposito, juga berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, yaitu dengan menggunakan prinsip wadi’ah dan mudharabah. Selain dapat melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga dapat memberikan jasa kepada nasabah dengan mendapatan imbalan berupa sewa atau keuntungan, jasa tersebut  terdiri dari sharf, kafalah, hiwalah, dan lain-lain.
Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu:
1.      Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Dimana riba sangat berpotensi dapat  mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2.      Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya. Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.
3.      Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas dalam mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas untuk meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari prinsip yang sudah ditetapkan. Sedankan dalam bank konvensional tidak terdapat dewan sejenis seperti bank syariah.
4.      Hubungan dengan nasabah
Pada prinsipnya hubungan antara bank syariah dengan nasabah yaitu dalam bentuk kemitraan sedangkan bank konvensional hubungannya Sebagai debitor-kreditor.
Sumber:
·         Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
·         http://www.carajadikaya.com/perbedaan-bank-konvensional-dengan-bank-syariah/

Kamis, 02 Januari 2014


            LEMBAGA ZAKAT DAN WAKAF
1.      Lembaga Zakat
Zakat secara harfiah mempunyai makna pensucian, pertumbuhan, berkah. Menurut istilah,  zakat berarti kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan harta kekayaannya untuk diberikan kepada mustahik dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.
            Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.    
Pensyariatan zakat dalam ajaran Islam dimulai sejak zaman pada masa kepemimpinan nabi Muhammad. Kewajiban melaksanakan rukun Islam ini masihsangat kuat karena umat Islam pada waktu itu bertemu langsung dengan pembawa syariat, yaitu nabi Muhammad SAW. Kewajiban mengeluarkan zakat dari orangyang mampu, dikontrol langsung oleh Rasulullah yang dibantu oleh Umar bin Khattab, Ibnu Lutabiyah, Abu Masud, Abu Jahm, Uqbah bin Amir, Dhahaq, Ibnu Qais dan Ubadah bin al-Shamit yang diangkat Sebagai amil oleh Rasulullah, disamping itu Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman. Sehingga praktek zakat berjalan dengan baik sesuai tuntutan syariat Islam, artinya muzakki mengeluarkan zakatnya sesuai tatacara (hitungan dan kadar) yang benar dan mustahiq juga menerima sesuai kondisi dan kapasitasnya sebagai orang atau golongan yang berhak menerima zakat. Zakat yang dikumpulkan dari muzakki langsungdibagikan kepada mustahiq. Kalaupun ada yang disimpan jumlahnya tidak banyak, Sehingga manfaat zakat dapat dirasakan langsung oleh para mustahiq saat itu juga. Akan tetapi praktek mulia seperti itu mengalami pergeseran tatkala nabi Muhammad wafat.Wafatnya nabi Muhammad dianggap sebagian umat Islam sebagai akhir dari pelaksanaan kewajiban zakat sehingga banyak yang membangkang mengeluarkan zakat. Melihat kondisi demikian, Abu Bakar as-Shiddiq yang merupakan khalifah pertama melakukan angkat senjata memerangi golongan yang enggan mengeluarkan zakat. Pada masa kepemimpinan Umar ibn Khattab, zakat dikelola lebih baik, bahkan Umar turun tangan mencari mustahiq ke rumah penduduk. Pada saat kepemimpinan Umar keberadaan baitul mal sebagai kas Negara difungsikan untuk menampung zakat, di mana pada saat itu kebutuhan jihad fisabilillah masih sangat tinggi dan zakat sebagai penopang utamanya. Begitu seterusnya hingga kepemimpinannya digantikan oleh Usman ibn Affan dan dilanjutkan Ali ibn Abi Thalib. Pada pemerintahan Ali terjadi kekacauan politik yang cukup besar diantaranya berkobarnya peperangan antara Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, walaupun dalam kondisi demikian, pengaturan system kolektif pengumpulan dan pembagian zakat tetap berjalan lancar.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Zakat juga merupakan harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan, yaitu delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Oleh karena itu, untuk mengoptimalisasi pendayagunaan zakat diperlukan pengelolaan zakat oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang professional dan mampu mengelola zakat secara tepat.  Jadi, dalam pengelolaan zakat dapat dipikirkan cara-cara pelaksanaannya dengan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tujuan zakat ialah meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat yang lemah ekonomi dan mempercepat kemajuan agama Islam menuju tercapainya masyarakat yang adil, maju dan makmur diridhoi oleh Allah SWT. Apabila tidak mencukupi dana yang dikumpulkan melalui zakat (2,5 kg) maka Islam memberikan pemungutan tambahan terhadap harta kekayaan masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh hadits Nabi Muhammad yang Artinya : Sesungguhnya didalam harta kekayaan itu ada selain zakat
Pada intinya Islam membukakan pintu kesejahteraan pemerataan ekonomi menuju ke masyarakat yang adil dan makmur. Disini selain harta kekayaan disalurkan untuk zakat, harta itu bisa disalurkan misalnya lewat shadaqah dan infaq.
Adapun organisasi yang mengelola zakat yaitu BAZ dan LAZ, dimana BAZ dan LAZ mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Dalam melaksanakan tugasnya LAZ dan BAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
1.      Badan Amil Zakat (BAZ)
BAZ adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan, mendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Badan Amil Zakat meliputi BAZ Nasional, BAZ Propinsi, BAZ Kabupaten/Kota, BAZ Kecamatan.  Badan Amil Zakat terdiri atas ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga professional dan wakil pemerintah. Mereka harus memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain : memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, professional dan berintergritas tinggi. Masa tugas pelaksanaannya selama tiga tahun. Salah satu tugas dari BAZ memberikan laporan tahunan kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya yang didalamnya terdiri dari laporan keuangan dan melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat seperti mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat dari masyarakat.
2.      Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan masyarakat tersebut bergerak dibidang dakwah, pendidikan, social dan kemaslahatan umat manusia. Adapun kewajiban LAZ yaitu:
a.       Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja ynag telah dibuat.
b.      Menyusun laporan termasuk laporan keuangan.
c.       Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
d.      Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Wakaf secara etimologi berasal dari bahasa Arab “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah.  Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan.  Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.
Dalam UU No. 41 Tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanyaatau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan digunakan sesuai dengan ajaran syariah islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan masyarakat umum.
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Rukun wakaf terdiri dari; pertama orang yang berwakaf (al waqif), benda yang diwakafkan (al mauquf), ketiga orang yang menerima wakaf (al mauquf alaih), dan yang keempat ikrar wakaf (sighat).
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilaiekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf terdiri dari pertama, benda tidak bergerak dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atas rumah susun dan benda tidak bergerak lainnya yang sesuai dengan syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan yang kedua benda bergerak yang dapat diwakafkan seperti dalam bentuk uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan dan benda bergerak lainnya yang sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan.
Sedangkan pemanfaatan harta benda wakaf dijelaskan dalam Pasal UU No. 41 Tahun 2004 dalam rangka mencapai tujuan dan fugsi wakaf, maka harat benda wakaf hanya diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana  dalam kegiatan pendidikan dan kesehatan, bantuan bagi fakir miskin, yatim piatu, dan lain-lain, sarana untk kemajuan ekonomi umat dan kemajuan kesejahteraan umum masyarakat.
Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, maka di Indonesia didirikan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bertugas dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik berskala nasional maupun internasional, memberikan persetujuan dan izin atas perubahan peruntukkan dan status benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Perbedaan antara Zakat dan Wakaf:
a.       Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
b.      Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus. Contohnya seperti Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut.  Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya.  Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
c.       Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran.  Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.
d.      Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
e.       Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya.  Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Sumber:
·         Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
·         Bwi.or.id
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat