Lembaga keuangan menurut SK Menkeu RI No. 792
Tahun 1990 merupakan suatu perusahaan atau badan yang kegiatan usahanya
berkaitan dengan bidang keuangan yang melakukan penghimpunan dan penyaluran
dana kepada masyarakat guna membiayai investasi perusahaan. Adapun pengertian
bank menurut undang-undang perbankanbahwa bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pada dasarnya bank terdiri
dari bank konvensional dan bank syariah.
1.Bank
Konvensional
Menurut Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 Bank Konvensional adalahbank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Martono
(2002) menjelaskan prinsip konvensional yang digunakan bank
konvensional menggunakan dua metode, yaitu :
Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk
simpanan seperti tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman
(kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu.
Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan
atau menerapakan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu.
Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
2.Bank
Syariah
Bank syariah adalah suatu sistem perbankan
yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Usaha pembentukan
sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun
meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi
untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram dimana hal ini tidak dapat dijamin
oleh sistem perbankan konvensional. Dalam
menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah tidak menggunakan
sistem bunga dalam menentukan sistem imbalan atas dana yang digunakan oleh
suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang
disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam
Secara
garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga yaitu Produk
penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk jasa yang diberikan bank
kepada nasabahnya. Dalam penyaluran dana terdiri dari jual beli (ba’i), sewa
(ijarah), dan bagi hasil (mudharabah&musyarakah), Dalam penghimpunan dana dapat
diwujudkan baik dalam bentuk simpanan maupun investasi, Penghimpunan dana dalam
bentuk simpanan wujudnya berupa Giro, Tabungan, berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah Sedangkan penghimpunan dana dalam bentuk
investasi wujudnya berupa deposito, juga berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah, yaitu dengan menggunakan prinsip wadi’ah dan
mudharabah. Selain
dapat melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank juga dapat
memberikan jasa kepada nasabah dengan mendapatan imbalan berupa sewa atau
keuntungan, jasa tersebut terdiri dari
sharf, kafalah, hiwalah, dan lain-lain.
Perbedaan yang mendasar
antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu:
1.Perbedaan
Falsafah
Perbedaan pokok antara bank
konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang
dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh
aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang
menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan
oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang
dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk
bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu
bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Dimana
riba sangat berpotensi dapat mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak
namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2.Konsep
Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah
dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi
jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan
upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah
membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan
menjadi sangat likuid. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan,
maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya
setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan,
didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah
dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. Sesuai
dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana
nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan
cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke
dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil
keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai
usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka
semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun
jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan
bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana
nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah
keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank
konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha
atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya. Dengan demikian sistem bagi
hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar
kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin
besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan
banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah
keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari
dana yang disimpannya saja.
3.Struktur
Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu
bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas dalam
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip
syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas untuk
meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga
keuangan syariah. Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga
keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan
menyimpang dari prinsip yang sudah ditetapkan. Sedankan dalam bank konvensional
tidak terdapat dewan sejenis seperti bank syariah.
4.Hubungan
dengan nasabah
Pada prinsipnya hubungan antara bank syariah
dengan nasabah yaitu dalam bentuk kemitraan sedangkan bank konvensional
hubungannya Sebagai debitor-kreditor.
Sumber:
·Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan
syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)
Zakat
secara harfiah mempunyai makna pensucian, pertumbuhan, berkah. Menurut
istilah,zakat berarti kewajiban seorang
muslim untuk mengeluarkan harta kekayaannya untuk diberikan kepada mustahik
dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.
Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pensyariatan zakat dalam ajaran
Islam dimulai sejak zaman pada masa kepemimpinan nabi Muhammad. Kewajiban
melaksanakan rukun Islam ini masihsangat kuat karena umat Islam pada waktu itu
bertemu langsung dengan pembawa syariat, yaitu nabi Muhammad SAW. Kewajiban
mengeluarkan zakat dari orangyang mampu, dikontrol langsung oleh Rasulullah
yang dibantu oleh Umar binKhattab, Ibnu Lutabiyah, Abu Mas‟ud, Abu Jahm,
Uqbah bin Amir, Dhahaq, IbnuQais dan Ubadah bin al-Shamit yang diangkat Sebagaiamil oleh Rasulullah, disamping
itu Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman.Sehingga praktek zakat berjalan
dengan baik sesuai tuntutan syariat Islam, artinyamuzakkimengeluarkan zakatnya sesuai
tatacara (hitungan dan kadar) yang benar danmustahiqjuga menerima sesuai kondisi dan kapasitasnya sebagai orang atau golongan
yang berhak menerima zakat. Zakat yang dikumpulkan darimuzakki langsungdibagikan kepadamustahiq. Kalaupun ada yang disimpan
jumlahnya tidak banyak, Sehingga
manfaat zakat dapat dirasakan langsung oleh paramustahiqsaat itu juga. Akan tetapi
praktek mulia seperti itu mengalami pergeseran tatkala nabi Muhammad
wafat.Wafatnya nabi Muhammad dianggap sebagian umat Islam sebagai akhir dari pelaksanaan kewajiban zakat sehingga banyak
yang membangkang mengeluarkan zakat. Melihat kondisi demikian, Abu Bakar
as-Shiddiq yangmerupakan khalifah pertama melakukan angkat senjata
memerangi golongan yang enggan mengeluarkan zakat. Pada masa kepemimpinan Umar
ibn Khattab, zakat dikelola lebih baik, bahkan Umar turun tangan mencarimustahiqke rumah penduduk. Pada saat
kepemimpinan Umar keberadaan baitul mal sebagai kas Negara difungsikan untuk
menampung zakat, di mana pada saat itu kebutuhan jihad fisabilillah masih sangat tinggi dan zakat
sebagai penopang utamanya. Begitu seterusnya hingga kepemimpinannya digantikan
oleh Usman ibn Affan dan dilanjutkan Ali ibn Abi Thalib. Pada pemerintahan Ali
terjadi kekacauan politik yang cukup besar diantaranya berkobarnya
peperangan antara Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, walaupun dalam kondisi
demikian, pengaturan system kolektif pengumpulan dan pembagian zakat tetap
berjalan lancar.
Zakat
merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi
tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah
wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat
tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah
diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan sebuah
kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan umat manusia. Zakat juga merupakan harta yang wajib dikeluarkan
apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan
disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan, yaitu delapan golongan
yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat
At-Taubah ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”
Pengelolaan
zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan
terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Oleh karena
itu, untuk mengoptimalisasi pendayagunaan zakat diperlukan pengelolaan zakat
oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang professional dan mampu mengelola zakat
secara tepat. Jadi, dalam pengelolaan
zakat dapat dipikirkan cara-cara pelaksanaannya dengan ilmu pengetahuan yang
sesuai dengan tujuan zakat ialah meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat
yang lemah ekonomi dan mempercepat kemajuan agama Islam menuju tercapainya
masyarakat yang adil, maju dan makmur diridhoi oleh Allah SWT. Apabila tidak
mencukupi dana yang dikumpulkan melalui zakat (2,5 kg) maka Islam memberikan
pemungutan tambahan terhadap
harta kekayaan masyarakat. Seperti
yang ditegaskan oleh hadits Nabi Muhammad yang Artinya : Sesungguhnya didalam harta kekayaan itu ada
selain zakat
Pada
intinya Islam membukakan pintu kesejahteraan pemerataan ekonomi menuju ke
masyarakat yang adil dan makmur.
Disini selain harta kekayaan disalurkan untuk zakat, harta itu bisa disalurkan
misalnya lewat shadaqah dan infaq.
Adapun
organisasi yang mengelola zakat yaitu BAZ dan LAZ, dimana BAZ dan LAZ mempunyai
tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunaan zakat sesuai
dengan ketentuan agama. Dalam melaksanakan tugasnya LAZ dan BAZ bertanggung
jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
1.Badan Amil Zakat (BAZ)
BAZ
adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari
unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan,
mendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Badan Amil Zakat meliputi
BAZ Nasional, BAZ Propinsi, BAZ Kabupaten/Kota, BAZ Kecamatan. Badan Amil
Zakat terdiri atas ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga professional
dan wakil pemerintah. Mereka harus memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain
: memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, professional dan berintergritas
tinggi. Masa tugas pelaksanaannya selama tiga tahun. Salah satu tugas dari BAZ memberikan laporan tahunan kepada pemerintah sesuai
dengan tingkatannya yang didalamnya terdiri dari laporan
keuangan dan melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat
seperti mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat dari masyarakat.
2.Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Menurut
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, Lembaga Amil Zakat adalah institusi
pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan masyarakat
tersebut bergerak dibidang dakwah, pendidikan, social dan kemaslahatan umat
manusia. Adapun kewajiban LAZ yaitu:
a.Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja
ynag telah dibuat.
b.Menyusun laporan termasuk laporan keuangan.
c.Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit
melalui media massa.
d.Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Wakaf secara etimologi berasal dari bahasa
Arab “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). Sedangkan menurut
syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan
menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan
Mohammad, wakaf
adalah
menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa
disedekahkan. Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada
kepemilikan Allah.
Dalam UU No. 41 Tahun 2004, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanyaatau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan
kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat
atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan digunakan sesuai
dengan ajaran syariah islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan
pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan
kesejahteraan masyarakat umum.
Dalam sejarah Islam,
Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi
SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di
kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama
kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan
bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf
tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia
berkata: Dan diriwayatkan
dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya
tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf
Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW."
(Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada
tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah;
diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Kemudian syariat wakaf yang telah
dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW.
lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang
diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang
subur. Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak
hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para
statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme
masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk
mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial
dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya
hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang
dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun
setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka
timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk
lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga. Pada
tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih
banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa
kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih
dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di
Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa
lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi)
menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula
bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau
benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan
sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju
perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk
wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia
sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan
diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42
tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Rukun wakaf terdiri dari; pertama
orang yang berwakaf (al waqif), benda yang diwakafkan (al mauquf), ketiga orang
yang menerima wakaf (al mauquf alaih), dan yang keempat ikrar wakaf (sighat).
Harta benda wakaf adalah harta benda
yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta mempunyai
nilaiekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf
terdiri dari pertama, benda tidak bergerak dalam bentuk tanah, hak milik atas
rumah, atau hak
milik atas rumah susun dan benda tidak bergerak lainnya yang
sesuai dengan syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dan yang kedua benda bergerak yang dapat diwakafkan seperti dalam
bentuk uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan dan benda bergerak lainnya
yang sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan.
Sedangkan
pemanfaatan harta benda wakaf dijelaskan dalam Pasal UU No. 41 Tahun 2004 dalam
rangka mencapai tujuan dan fugsi wakaf, maka harat benda wakaf hanya
diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana dalam kegiatan pendidikan dan kesehatan,
bantuan bagi fakir miskin, yatim piatu, dan lain-lain, sarana untk kemajuan
ekonomi umat dan kemajuan kesejahteraan umum masyarakat.
Untuk
mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan
kepentingan wakaf, maka di Indonesia didirikan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang
bertugas dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik berskala
nasional maupun internasional, memberikan persetujuan dan izin atas perubahan
peruntukkan dan status benda wakaf, dan memberikan saran dan pertimbangan
kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Perbedaan
antara Zakat dan Wakaf:
a.Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan
waqaf berhukum sunnah (mandub).
b.Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas
kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus. Contohnya seperti Fakir miskin,
ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki
kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut. Sedangkan pada
kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta
waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya.
Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya
berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan
kambingnya tidak berhak ia miliki.
c.Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan
di dalam al-Quran. Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8
golongan itu saja.
d.Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan
nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
e.Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta
yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar
1/40, dan lain sebagainya. Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan
spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Sumber:
·Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga keuangan
syariah, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009)